RAMADHAN, UNTUK KEMAJUAN PERADABAN
Oleh:
Prof. H. Ganefri, Ph.D
Rektor UNP/ Ketua PWNU Sumbar
Puasa Ramadhan dianggap sebagai ibadah yang sangat hebat atau luar biasa. Sebuah pertanyaan urgens, mengapa dianggap hebat atau luar biasa? Yakni, yang pertama, puasa merupakan bagian dari Rukun Islam. Karena sebagai sendi dasar Islam yang vital. Jika rukun yang satu ini tidak terlaksana, maka keislaman atau keimanan seseorang itu, juga akan berkurang. Secara tegas Allah telah memberi perintahkan pada orang beriman, dengan bentuk kalimat langsung dalam Al-Quran: “diwajibkan atas kamu….” Perhatikanlah makna ayatnya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqaroh, 2:183).
Berikutnya, dalam aspek pendidikan atau pembentukan karakter ibadah puasa tersebut sebagai manifestasi kejujuran dan latihan untuk bersikap dan berbuat jujur bagi diri pribadi yang diinginkan. Sangat jelas, kejujuran itu sangat diperlukan dalam ranah kehidupan kita bersama. Sebab, hanyalah Allah dan pribadi masing-masing, yang tahu apakah ia menjalankan puasa dalam posisi yang benar atau sah sah/ tidak. Bukanlah orang lain, Apakah Suami terhadap istri, bapak terhadap anak, juga tidak bisa mengetahui dengan pasti. Jika dalam bersyahadat, jelas bisa kita dengar dan malah saksikan oleh orang lain. Mengerjakan ibadah shalat, juga terlihat gerakan fisik anggota tubuh. Ibadah haji, tentunya. Karena kita mesti berangkat secara bersama dengan jamaah lainnya.
Dari aspek peradaban, peristiwa turunnya Alquran ini menjadi tonggak sejarah kemajuan peradaban bagi bangsa Arab khususnya, dan dunia pada umumnya. Kenapa demikian? Sebab bangsa Arab sebelum masa turunnya Alquran itu dikenal sebagai bangsa yang ummiy, bangsa yang tidak pandai membaca dan tidak bisa menulis. Bangsa Arab dikenal sebagai masyarakat dengan peradaban yang tertinggal sebelum Islam datang jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Bahkan istilah masa Jahiliyah disematkan kepada mereka. Sebelum mengenal Alquran, peradaban bangsa Arab lebih kepada peradaban lisan, informasi dan ilmu pengetahuan disampaikan dari lisan ke lisan. Namun setelah turunnya Alquran, mereka berubah menjadi bangsa yang peradabannya secara drastis berubah, maju dengan pesat.
Mengutip pandangan Komaruddin Hidayat (2019) sebagai syariat agama, puasa memiliki sasaran di luar dirinya. Dalam ibadah puasa, setidaknya terdapat tiga pesan yang melekat.
Pertama, kita diajak untuk menghayati kemahahadiran Tuhan. Betapa kita merasakan kedekatan Tuhan sehingga di manapun dan kapanpun berada, kita sanggup menahan diri untuk tidak makan dan minum, mata-mata karena kepasrahan kita kepada-Nya, bukan karena siapapun selain Dia.
Kedua, kesanggupan menunda kenikmatan jasmani yang bersifat sesaat, sesungguhnya kita tengah melakukan investasi kenikmatan yang lebih agung dan sejati pada hari depan. Dalam bentuknya yang amat sederhana, adalah kenikmatan pada waktu berbuka puasa.
Ketiga, di samping mengajarkan untuk berpandangan hidup ke masa depan (future oriented), puasa juga mengajarkan kepada kita untuk menumbuhkan dan mempertajam kepekaan sosial, yaitu berbagi rasa dan berempati dengan derita orang lain.
Harapannya, dengan nilai puasa, konsep-konsep yang luar biasa akan kemajuan bangsa, bukanlah hanya sebatas wacana di atas meja maupun ruang diskusi, dan bangsa dan negara Indonesia ini, tidak mengalami “cultural lag” (cekat/tidak sampai) dan “cultural shortage” (ketekoran budaya).Ketika berbagai modal telah dimiliki oleh suatu bangsa dan negara, syarat selanjutnya dalam rangka mencapai kemajuan adalah kemampuan seseorang mengendalikan diri. Puasa sejatinya mumpuni atau mampu dalam membentuk habitus dan bahkan nilai-nilai karakter dengan tingkat self controlling yang tinggi.
Mari kita jaga bulan suci Ramadhan ini, di tengah menjalankan ibadah puasa dan menjalani atau melakoni berbagai kegiatan untuk meraup banyak pahala, menyuburkan ladang-ladang amal, meraih bersama kebahagiaan, hidup dengan kesabaran, mentaati aturan agama dan negara, selalu berderma, dan selalu membuka diri untuk mau mengakui kesalahan serta bisa menginstropeksi diri dengan selalu memperbanyak istighfar.